Rabu, 25 Januari 2012

Quo Vadis Indonesia

Walaupun sudah lewat..sepertinya kita perlu tau..nih saya copas infonya dari dakwahkampus.com..cekidot..!!

Rakyat Indonesia berada pada penghujung tahun 2011 dan akan memasuki tahun 2012—jika menggunakan kalender masehi—atau berada pada awal tahun 1433 H dengan kondisi yang serba tidak pasti. Artinya, rakyat Indonesia dihadapkan pada kondisi sosial, politik, terutama ekonomi yang tidak jelas. Belum lagi, ancaman krisis bisa melanda Indonesia pada 2012.

Gejolak ekonomi global yang ditandai dengan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat (AS) dan krisis utang di kawasan Eropa diperkirakan akan menggerus prospek ekonomi dunia termasuk Indonesia pada 2012. Dana Moneter Internasional (IMF) yang semula memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2012 akan mencapai sekitar 4,5 persen, pada Oktober 2011 merevisi proyeksi itu menjadi hanya 4,0 persen.
Khusus Indonesia, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 hanya sekitar 6,1-6,3 persen. Perkiraan tersebut lebih rendah dibanding dengan proyeksi yang dikeluarkan IMF sekitar 6,3 persen, Bank Pembangunan Asia (ADB) sekitar 6,8 persen, Bank Indonesia (BI) antara 6,3-6,7 persen, dan pemerintah sebesar 6,7 persen (www.antaranews.com, 5/12/2011).
Masalah lain yang menambah ruwet yakni inefisiensi birokrasi dan korupsi. Inefisiensi birokrasi pemerintah ditandai oleh kinerja pelayanan public yang buruk. Misalnya, masih lazim kit abaca berita pasien miskin yang ditahan di rumah sakit milik pemerintah karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Contoh lain, alokasi anggaran pendidikan pada APBN sejak tahun 2001 terus meningkat. Tahun 2009 alokasi untuk sector pendidikan sekitar 20% dari APBN, namun ternyata alokasi rumah tangga untuk membiayai pendidikan masih tinggi. Dalam sector transportasi, menurut Kementerian Perhubungan kerugian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai Rp.180 triliun per tahun. Angka ini merupakan 3,1% dari PDB (GNP) tahun 2010, di mana PDB 2010 Rp.7.000 triliun (Bisnis Indonesia, 18/11/2011). Korupsi yang menjadi target reformasi politik tahun 1998/9 belum berhasil diatasi. Malah, peringkat Indonesia pada Corruption Perception Index tahun 2010 adalah 110 di dunia dengan skor 2,8.
Inefisiensi birokrasi dan korupsi memberikan dampak daya saing Indonesia di kancah Internasional pada kondisi memprihatinkan. Daya saing Indonesia dalam Global Competitive Index 2011 ditandai oleh penurunan, yakni dari peringkat 44 turun dua undakan ke peringkat 46 dengan skor 4,38. Selain itu, perkembangan teknologi sebenarnya memiliki andil untuk mengefisienkan birokrasi. Akan tetapi, peringkat Indonesia dalam pemanfaatan Information Communication and Technology (ICT) menurut E-Government Readiness Index pada tahun 2010 berada pada posisi 109. Peringkat tersebut termasuk lebih rendah daripada Singapura di peringkat 11, Malaysia di peringkat 32, dan Thailand di peringkat 76. Dengan kondisi sedemikian rupa, lalu mau dibawa ke mana negara Indonesia ini?
Skenario Pakar
International Journal of Administrative Science, Bisnis & Birokrasi, pada tahun 2009 menerbitkan artikel yang ditulis oleh Ketua Departemen Ilmu Admisnitrasi FISIP UI, Roy V. Salomo. Artikel tersebut berjudul “Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik”.
Artikel tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan dalam rangka membangun skenario terhadap ketiga change drivers, yaitu aspek sosial, politik, dan ekonomi. Penelitian dilakukan melalui teknik focused group discussion (FGD) sebanyak dua kali, dengan pakar ilmu sosial (sosiolog), pakar ilmu politik, dan pakar ilmu ekonomi dari Universitas Indonesia. Selain itu dilakukan pula sejumlah wawancara mendalam dengan sejumlah pakar politik, sosiolog dan ekonom dari Universitas Hassanudin yang dianggap mewakili centre of excellence di kawasan timur Indonesia. Teknik lain yang juga digunakan adalah penelitian dengan menelusuri data skunder berdasarkan hasil dari pihak lain, seperti HDI, indeks korupsi, data demografi, data kecenderungan pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah data lainnya.
Dalam hasil penelitiannya, Roy V. Salomo memaparkan terdapat dua scenario besar yang mungkin terjadi pada Indonesia di tahun 2025. Skenario pertama, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi baik, demokrasi dan civil society berkembang dengan baik. Skenario ini merupakan the best case scenario baik driving forces maupun kecenderungan yang terjadi mendukung. Namun, dalam paparan selanjutnya, dijelaskan bahwa tampaknya untuk kondisi Indonesia sekarang, skenario pertama merupakan Skenario Utopia sehingga merupakan Scenario yang ditolak oleh para pakar, terutama pada FGD pertama. Para pakar berpendapat bahwa kondisi kedua aspek dengan berbagai indikatornya sekarang ini menunjukkan trend yang tidak menggembirakan. Oleh karena itu, skenario pertama dianggap mempunyai kemungkinan yang sangat kecil untuk terjadi dalam kurun waktu 20 tahun ke depan.
Skenario kedua, pertumbuhan ekonomi lamban demikian pula halnya dengan demokrasi dan perkembangan civil society. Ini merupakan scenario terburuk yang mungkin terjadi, namun dibangun berdasarkan kecenderungan berbagai fakta yang ada. Pada FGD pertama skenario inilah yang dianggap paling besar kemungkinannya terjadi. Skenario ini terutama terjadi jika kondisi yang ada sekarang dibiarkan berlarut-larut, banyak ‘pekerjaan rumah’ tidak dibuat, kesadaran elit politik nasional, terutama lokal akan krisis tidak ada. Skenario ini akan berakhir dengan konflik berkepanjangan yang sulit diredakan. Skenario ini dapat pula dinamakan sebagai Skenario Masuk Kubangan.
Mempertahankan Demokrasi?
Skenario pakar yang termaktub dalam artikel jurnal tersebut masih menempatkan demokrasi sebagai sistem di Indonesia. Wajar saja, jika kesimpulan FGD para pakar lebih pada kecenderungan fesimis terhadap kondisi Indonesia mendatang. Sesungguhnya, kesimpulan tersebut memberikan gambaran bahwa selama Indonesia masih diatur oleh system demokrasi, maka kondisi ke depan tak jauh beda dengan kondisi sekarang yang karut marut. Kesimpulan tersebut juga lebih menitikberatkan penjelasan bahwa permasalahan utama Negara Indonesia terletak pada sistem yang diadopsi. Karena jika menyalahkan person, maka reformasi di berbagai sektor telah dilakukan namun tidak membuahkan hasil. Usaha memperbaiki sumber daya manusia juga telah dilakukan mulai dari sistem perekrutan hingga pelatihan pegawai. Akan tetapi, hasilnya juga tetap nihil. Malah, banyak pegawai yang tergerus idealismenya oleh budaya birokrasi. Dalam teori perilaku organisasi sebenarnya telah disebutkan bahwa dalam sebuah organisasi terdapat kultur organisasi dan individu yang salig mempengaruhi. Nyatanya, kultur negatif birokrasi jauh lebih besar pengaruhnya terhadap individu. Oleh karenanya, pudarlah cita-cita mulia seseorang tatkala ingin merubah sistem ketika dia masuk dalam sistem tersebut.
Di kancah internasional, memang perebutan dominasi antara kapitalisme, komunisme, dan satu lagi yang tidak boleh dilupakan adalah Islam. Setelah runtuhnya Uni Soviet, memang dunia didominasi oleh negara-negara pengusung kapitalisme dengan Amerika Serikat sebagai garda terdepannya. Termasuk sebenarnya Indonesia yang mengadopsi kapitalisme dalam pengurusan negaranya. Demokrasi dalam hal ini merupakan saudara kandung kapitalisme yang terlahir dari aqidah sekulerisme. Dengan melihat fakta yang terjadi, maka sebenarnya kita dituntut memilih ke arah mana Indonesia ke depan. Apakah masih tetap mengadopsi demokrasi dan kapitalisme dalam urusan bernegara atau memilih alternatif sistem Islam?
Sistem demokrasi dan kapitalisme telah menunjukkan kebobrokan di seluruh dunia. Bahkan di negara pengusung demokrasi dan kapitalisme sendiri terjadi protes yang sangat keras. Di Amerika Serikat terjadi Occupy Street yang menunjukkan protes atas keserakahan kapitalisme. Terbang ke Eropa, juga terjadi hal yang sama. Uni Eropa dilanda krisis yang membuat kekhawatiran dunia.
Fakta-fakta buruk demokrasi dan kapitalisme sebetulnya telah terlihat. Tahun 2008, penduduk miskin di Bangadesh mencapai 50%, Iran 40%, Pakistan, 33%, Jordan, 30%, Turki 20%, Mesir 20%, dan Syria 12% (www.khilafah.com, 2008). Padahal, Negara-negara di Timur Tengah memiliki kekayaan yang melimpah terutama energy dan sumber daya mineral. Akibat demokrasi dan kapitalisme dianut oleh negara-negara di Timur Tengah, maka imbasnya demikian. Jika berbicara Indonesia, data BPS tahun 2010, menunjukkan persentase penduduk miskin di Indonesia sekitar 13,33% atau sekitar 31 juta jiwa. Angka tersebut didasarkan pada data jumlah penduduk resmi hasil sensus. Padahal, masih banyak orang miskin yang tidak tercatat, terutama di kota-kota besar. Kemudian, banyak penduduknya yang menganggur. Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 memperlihatkan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 8.592.490 jiwa. Jumlah tersebut belum termasuk di dalamnya kategori pengangguran terselubung, yang jumlahnya tidak sedikit. Fakta tersebut, tidak dijadikan jaminan bagi pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak lagi. Makanya, tak ayal banyak penduduk yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Dengan skill dan pengetahuan terbatas, juga pengawasan yang tidak ketat dari pemerintah, banyak tenaga kerja Indonesia menjadi korban kekerasan di luar negeri. Belum lagi, permasalahan Angka Partisipasi Murni (APM) yang terus menurun persentasenya setiap kenaikan jenjang pendidikan. Contoh, tahun 2009, APM jenjang SD/sederajat sebesar 94.37%, SMP/sederajat 67.43%, dan SMA/sederajat 45.11%. Fakta ini menunjukkan bahwa sebagaian besar penduduk Indonesia tidak berkualitas. Oleh karenanya, sangat sedikit sumber daya manusia Indonesia yang mampu menciptakan dan menguasai teknologi. Belum lagi jika melihat kecacatan perekonomian, kehidupan sosial, penegakan hukum, dan perpolitikan. Begitulah kiranya jika Indonesia diatur dengan sistem kapitalisme dan demokrasi. Lalu bagaimana jika Indonesia diatur dengan sistem Islam?
Menuju Kekhilafahan
Sistem sekuler yang saat ini diterapkan di Indonesia tidak akan pernah bisa menghasilkan kebaikan dan kemajuan, karena sistem itu adalah sistem yang rusak dan bertentangan dengan akidah Islam. Sistem ini telah nyata-nyata menjauhkan umat Islam dari harta miliknya yang paling berharga, yaitu kecintaan kepada agama Alloh SWT. Karenanya, sistem ini tidak pernah sungguh-sungguh mendapatkan dukungan dari umat. Bagaimana akan tercipta kebaikan dan kemajuan dalam sebuah masyarakat, bila sistem yang diterapkan tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari rakyatnya? Bila sistem yang diterapkan sejalan dengan akidah umat, maka akan terbentuk sinergi yang produktif antara sistem dan umat, sehingga akan terjadi dinamika luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Dalam bentangan sejarah dunia, Islam terbukti berhasil membangkitkan masyarakat, dari yang sebelumnya hidup dalam kebodohan dengan sebuah kebangkitan yang luar biasa dan tidak pernah bisa ditandingi oleh kebangkitan yang terjadi dalam masyarakat manapun; menjadi sebuah masyarakat mulia, yang mengawali terbentuknya peradaban agung yang berkemajuan. Itulah masyarakat Islam pertama dalam naungan Daulah Islam, yang disebut juga Daulah Khilafah pertama di Madinah al-Munawwarah. Selama lebih dari satu milenium, peradaban Islam nan gemilang itu menjadi mercusuar bagi seluruh umat manusia. Termasuk beberapa wilayah Indonesia masuk dalam kekhilafahan pada masa khilafah Utsmaniyah.
Dalam masyarakat Islam, sistem Islam bekerja mengatur masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga kerahmatan yang dijanjikan benar-benar dapat terwujud. Kebangkitan umat Islam di masa lalu terbukti mampu menciptakan kemajuan di segala bidang, termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan di bidang ekonomi. Itu semua menjadi monument peninggalan sejarah dunia yang tak terlupakan. Dalam bidang ilmu kedokteran dan astronomi misalnya, Daulah Khilafah jauh lebih maju dibanding dengan negara-negara lain pada waktu itu. Buktinya, universitas-universitas di berbagai wilayah Islam saat itu menjadi tempat utama buat orang-orang Eropa, termasuk para pangeran dan putri dari berbagai kerajaan di Eropa, untuk menimba ilmu. Salah satu ukuran orang berilmu ketika itu adalah kemampuannya dalam menguasai bahasa Arab, karena bahasa Arab seakan menjadi kunci harta karun ilmu yang memang saat itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab.
Daulah Khilafah juga menjamin tersedianya akses bagi semua orang untuk mendapatkan kekayaan. Di saat yang sama mencegah kekayaan tersebut terpusat di tangan segelintir orang. Sepanjang kepemimpinan Daulah Khilafah, ketersediaan berbagai kebutuhan pokok (primer) bagi seluruh warga negara berhasil diamankan. Sementara itu, kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) senantiasa terbuka bagi semua orang. Dalam konstelasi politik internasional, Daulah Khilafah menjadi negara nomor satu selama berabad-abad tanpa pesaing. Daulah Khilafah berhasil menyatukan berbagai sumberdaya yang luar biasa besar yang dimiliki umat Islam dalam sebuah institusi negara yang luasnya mencapai tiga benua. Khilafah telah menggariskan sebuah kebijakan yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan dan kebenaran, hingga ia mampu menjadi pemimpin bangsa-bangsa yang ada. Kabar tentang tentang keadilan Daulah Khilafah tersebar luas melintasi perbatasan wilayah kekuasaannya. Hal ini membuat banyak sekali manusia tertarik untuk masuk Islam. Saat wilayah-wilayah itu direbut pasukan Tartar dan tentara Salib, umat Islam di tempat itu tidak sedikit pun menyerah. Mereka terus berjuang hingga akhirnya berhasil merebut kembali wilayah itu dan mengakhiri penjajahan di sana. Inilah umat terbaik (khayru ummah) yang diturunkan Allah SWT, yang menjadi contoh bagi seluruh umat manusia. Kondisi semacam ini insya Allah dapat diwujudkan kembali asal umat Islam mau kembali kepada rahasia kejayaan Islam, yakni diterapkannya sistem Islam secara kaffah melalui Daulah Khilafah.
***
Demokrasi dan kapitalisme telah nyata memberikan keburukan bagi penganutnya. Islam memberikan solusi demi kehidupan yang lebih baik. Penerapan Islam yang dimaksud adalah penerapan Syari’ah Islam dalam bingkai Khilafah. Indonesia, sesungguhnya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi pelopor berdirinya Khilafah, dengan mayoritas penduduknya muslim, kondisi geografi yang strategis, sumber daya alam yang melimpah, militer yang banyak, dan kekuatan-kekuatan lainnya. Insya Alloh jika Indonesia menjadi Negara Khilafah akan lebih baik dan menjadi Negara adidaya di dunia. Berbagai permasalahan yang ada bisa terselesaikan, Insya Alloh. Jadi, memilih yang mana? Tetap mengadopsi demokrasi dan kapitalisme yang membuat Indonesia terpuruk atau Islam dalam bingkai Khilafah yang akan menjadi negara adidaya?[]Irawan Setiawan (Ketua BE BKLDK Korwil Jakarta)


Referensi
Gejolak global gerus prospek ekonomi 2012, 2011. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/287711/gejolak-global-gerus-prospek-ekonomi-2012.
Hizbut Tahrir Indonesia, 2009. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia “Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam”. Jakarta: HTI.
Irawan, 2011. Refleksi: Pelajaran Menuju Indonesia Lebih Baik!, Diakses dari http://forumremajamasjidui.wordpress.com/2011/04/13/refleksi-pelajaran-menuju-indonesia-lebih-baik/#more-79
Ishak, Muhammad, 2011. Kesejahteraan Semu Demokrasi. Makalah Disajikan dalam Daoruh Forum Remaja Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia, Depok, 10 Desember 2011.
Manurng, Lisman, 2011. Belajar dari Malaysia & Thailand: Mengatasi Inefisiensi Birokrasi dan Korupsi Guna Penguatan Daya Saing Menyongsong Pasar Tunggal ASEAN 2015 serta Pentingnya Percepatan E-Government di Indonesia sebagai Jawaban. Depok: Departemen Ilmu Adminsitrasi FISIP UI.
Salomo, Roy V, 2009. Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik. International Journal of Administrative Science, Bisnis & Birokrasi Volume 16 No. 2 page 74-81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar