Indonesia pada tahun 1938 Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung menyatakan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu. Perayaan ini disambut dengan asal-usul yang berbeda-beda.
Masyarakat Yunani Purba merayakan Hari Ibu bertujuan untuk memuja ibu-ibu sebagai simbolik kepada Cybele, ibu dewa-dewi Yunani yang agung. Manakala di Rom Purba pula Hari Ibu disebut sebagai perayaan Montrali yang memperingati dewi Juno, dan ibu biasanya diberi hadiah pada hari ini.
Malah di China, setengah rakyat China sedang mulai memupuk Hari ibu sebagai memperingati Meng Mu, ibu kepada Mencius, tetapi masih belum menjadi perayaan rasmi kecuali di beberapa tempat saja.
Menurut Wikipedia, Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.
Jadi di sini, Hari Ibu bisa jadi kedudukannya sama dengan Hari Valentine, April Mop, Tahun Baru Masehi, Hari Bumi dan hari-hari lainnya yang bermuara pada kepercayaan pagan Yunani. Merayakannya sama saja dengan mengakui adanya kebiasaan-kebiasaan ritual itu.
Dengan demikian, tidak boleh hukumnya pada hari raya yang disebutkan penanya yang dikenal dengan hari ibu itu untuk membuat syi’ar-syi’ar hari raya, seperti menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah dan sebagainya. Setiap orang Islah harus bangga dengan agamanya dan membatasi diri pada apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus dan diridhoi Allah bagi hamba-hamba-Nya, tidak menambah dan mengurangi. Yang juga harus dilakukan seorang muslim adalah supaya tidak ikut-ikutan dengan trend atau gebyar yang ada, tetapi dia harus membentuk kepribadiannya sendiri sesuai dengan tuntutan syariah Allah, hingga dia menjadi orang yang diikuti bukan pengikut, menjadi teladan bukan yang bukan berteladan, karena syariat Allah adalah sempurna dilihat dari segala aspeknya seperi yang difirmankan Allah, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu dan aku sempurnakan nikmat-Ku atasmu dan Aku ridha Islam menjadi agamamu.” (Al-Maidah: 3).
Tidak ada yang salah dengan kemuliaan seorang Ibu. Islam, sejak keberadaannya dan sejak dibawa oleh Rasulullah, telah meletakkan posisi seorang ibu sangat tinggi. Ibu, ibu, ibu, baru kemudianlah seorang ayah, yang wajib dihormati oleh seorang anak, begitu hadist Rasulullah saw yang sudah terkenal. Untuk menghormati ibu tidak hanya diperlukan sehari saja dalam setahun, tetapi dia harus selalu dihormati, dipelihara, diperhatikan, dan ditaati perintahnya oleh anak-anaknya, selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di sepanjang zaman dan di segala tempat
Tentu jika sekarang ada Hari Ibu, maka ada sesuatu yang aneh di sana. Hari Ibu adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Dan Hari Ibu dilaksanakan di seluruh dunia dengan nama Mother’s Day dengan berbeda-beda tanggalnya.
Mungkin ada pembenaran, tetapi perhatikan hadist berikut: suatu hari, seorang ibu libur dulu dari tugas-tugas rutinnya. Ibnu Umar ra berkata, Sabda Rasulullah saw bersabda: “Wanita yang tinggal di rumah bersama anak-anaknya, akan tinggal bersama-samaku dalam surga.” Artinya, tidak ada berhenti atau cuti ketika sudah menjadi ibu—posisi yang sangat mulia dalam kehidupan. Adapun beban pekerjaan, bukankah Islam telah mengatur sedemikian rupa pendelegasian dengan suami hingga semua tugas dibagi rata antara suami dan istri?
Hadist di atas bukannya mengekang seorang perempuan atau seorang ibu. Kita tentu ingat bahwa Rasul juga membuka wilayah sosial untuk para muslimah ketika itu. Ada banyak kisah yang menceritakan keterlibatan para muslimah dalam dakwah Rasulullah, termasuk peperangan.
Lantas, dimanakah posisi lelaki? Mungkin satu hadist ini bisa menjadi petunjuk dari berbagai posisi lelaki dan perempuan dalam Islam, “Satu dinar yang kamu belanjakan ke jalan Allah, satu dinar yang kamu belanjakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk kepentingan keluarga, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu” belanjakan untuk kepentingan keluarga.”(HR Muslim). Wallahu’alam bishawab.[]Oleh: Nur Hidayati [Mahasiswi UNIMED/ Aktivis SENADA Medan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar